Langsung ke konten utama

INDONESIA PAGI HARI

INDONESIA PAGI HARI

Dalam pagi yang selalu berganti,
Anak anak mengawali hari berseragam rapi.
Berteman burung-burung yang bernyanyi riang.
Mentari adalah alarm disetiap pagi Indonesia 
yang baru bangun.

Sosok Indonesia terlihat pada senyum ceria 
anak-anak berangkat ke sekolah.
Menenteng tas membawa restu orang tua.
Sosok Indonesia terlihat pada guru berpakaian batik 
dalam siap untuk pengajaran.

Angin pagi berhembus menyapa pohon
Menggugurkan daun-daun kering berserakan.
Pertengkaran, perselisihan, 
politik rakus, dalam isu-isu yang semerbak.
"Seorang bapak rela mencuri satu buah handphone 
untuk biaya anaknya sekolah,
Pelajar kembali terlibat tawuran,
Seorang murid menantang duel guru, 
kasus pelecehan kembali muncul,
sekolah terpaksa tutup, mahasiswa kembali demo, 
merdeka belajar, seorang rektor terjerat kasus korupsi, 
pendidikan mahal, jual beli skripsi, 
ayam kampus, NKRI harga naik dan bla bla bla" 
Bum. Ki Hajar Dewantara muak 
dengan berita-berita pendidikan sekarang ini.
Televisi tak berarti, terbakar sudah oleh emosi.

Bung Karno dengan Tan Malaka 
duduk di teras rumah.
dua cangkir kopi pagi hari dalam semeja.
Di pandanginya koran lusuh 
dengan tatap yang semu.
Sementara Ki Hajar Dewantara cemas, 
Ia cemas, yang lain cemas, semuanya cemas.
Akankah negara yang ia bangun 
dengan teman-temannya dapat berlanjut.

Anak-anak yang dididik oleh teknologi.
Terbuai rasa nyaman yang pasti.
Pelajaran, pengajaran, pembelajaran, mana kata yang tepat untuk itu.
Sementara praktik malas membaca mengakar membudaya.
Idealisme menjadi barang semu.
Moralitas tergadaikan.
Lantas, apa yang kau miliki hari ini?
Kalau kau seorang pemuda mana baktimu?
Kalau kau seorang pemuda mana karyamu?
Kalau kau seorang pemuda mana telurmu?

"Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya ...
Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia" kata Bung Karno dulu.
"Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh seorang pemuda" kata Tan Malaka dulu.

Bung Karno dengan Tan Malaka, kini 
tak sampai harap.
Dengan peluh yang tak terdengar, mereka menitikkan air mata.
Teringat akan kata-katanya 
yang kini hanya terpajang 
di caption beberapa lini masa.

Semuanya di konsumsi Indonesia sepagi ini.
Angin pagi yang sejuk.
Angin pagi yang sendu.
Secercah harapan begitupun ketakutan 
terbawa dalam sinar mentari
Di Indonesia pagi.

Snw

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPAKBOLA; IMUNISASI KEHIDUPAN

Sepakbola bagiku bukan hanya sekedar permainan menendang dan memasukkan bola ke gawang lawan dengan sebanyak-banyaknya. Bukan! Sepakbola lebih dari itu.  Sepakbola bagiku adalah soal gairah hidup yang darinya meliputi berbagai perasaan. Senang, sedih, bahagia, kecewa, dan emosi menyatu bersamaan dengan bergulirnya si kulit bundar. Sepakbola menjadi teman untuk menghidupi hidup atas kegagalan, pelepas beban, dan pelengkap perjalanan hidup yang hebat.  Atmosfirnya yang aku rindukan dan untuk menjadi nyawa pada adanya gairah.  Berangkat ke stadion dengan rindu yang kesekian kalinya. Lalu, senang dan tawa riah dalam duduk memutari air persahabatan. Lalu ketika peluit ditiup, adukan perasaan mulai dipertaruhkan hingga 2x45 kedepannya. Meramalkan doa-doa dan nyanyian. Memberi semangat ketika kebanggaan mulai menyerang. Menteror lawan ketika memegang bola. Hingga umpatan serapah "bajingan" ketika ada keputusan kontroversial dari si pengadil. Ah, teramat sulit untuk dijel

SADTEMBER

SADTEMBER Bagi kalangan orang yang berkesadaran dan menolak lupa, bulan September adalah bulan mengenang berbagai peristiwa. Bulan yang menempati urutan ke-9 dalam penanggalan Masehi ini, sering di kaitkan dengan kata 'Hitam' dibelakangnya. Ya, tentu saja. Kata itu untuk mempertajam dan menggarisbawahi berbagai peristiwa. Banyak tanggal bertinta hitam untuk menolak lupa pada kekerasan negara.  Paragraf di awal tulisan ini merupakan tulisan seorang mahasiswa. Ya, dengan berbagai dialektika yang ada, semester 5 telah mengenalkanku pada kontradiksi. Tak seperti tulisanku yang ada di gambar itu—yang ku tulis dan ku upload di FB waktu masih berseragam abu-abu. Konyol, tentunya. Ruang dan lini masa yang berbeda membuatku berbeda juga, walaupun masih dalam konteks yang sama; bulan September. Walaupun berbeda, aku belum tau tolak ukurnya, apakah hari ini lebih baik atau malah sebaliknya.  Melihat jejak sosial media di FB, terkadang membuat ku larut dalam kenangan sejarah. D