Langsung ke konten utama

PEMBICARAAN MENGALIR BAGAI DEBURAN OMBAK YANG SALING BERKEJARAN

Adzan Isyak berkumandang, dan sudah sejauh ini kami masih disini. Berteman deburan ombak, kami memulai pembahasan diskusi yang lebih ke serius. Berhadap-hadapan, berdua saja. Dengan adanya buku Pengantar Filsafat kita mulai membedah buku juga membedah isi dari kepala kita. Tak lupa, disetiap pembicaraan otakku selalu siap sedia untuk mencatat hal-hal yang sekiranya penting. Juga menganalisa berbagai pertanyaan yang dilontarkan Ubaid.

Pentingkah sebuah negara? Ini yang kita bahas sebagai pendahuluan. Negara penting untuk mewadahi, mengayomi, dan memberi peraturan suatu bangsa, karena tanpa adanya suatu negara, bangsa akan kacau balau, begitu kira-kira ucapan Ubaid dengan memberikan contoh sebungkus rokok, yang bisa ku tangkap.

Pembicaraan mengalir bagai deburan ombak yang saling berkejaran. Pembahasan kali ini mengarah ke materi Mapaba. Membedah semua hal yang masih belum difahami dan dikuasai. Ubaid disini bisa dikatakan sebagai pembimbing, yang sudah sepantasnya karena pengalamannya. Sementara aku sebagai objek yang dibimbing, dituntun, dan diarahkan. 

Bagai guru dan murid, aku tak bisa mengimbangi pembahasan Ubaid retorika kedisiplinan ilmunya. Karena yang paling lebih ku senangi adalah  pembahasan sejarah dan kebangsaan. Waktu pembahasan kita mengarah ke sejarah munculnya aswaja, syiah, khawarij, aku bisa berasumsi -walaupun juga asusimku masih butuh sanggahan-.

Angin semakin malam semakin terasa. Kita masih disini, karena Fatih juga baru bergabung. Menikmati malam dengan berbagi pengetahuan, tiada hari tanpa diskusi. Dengan adanya Fatih, pembahasan sekarang mengarah ke PKD, sebuah jenjang kaderisasi untuk setiap kader PMII. Ubaid sendiri menyuruh untuk segera ikut PKD, dengan merekomendasikan PKD di UNIGIRI. Tak ada pilihan lain, aku dan Fatih pun mengiyakan. 

Perbincangan kami sudah panjang lebar. Malam semakin kelam, dan angin laut semakin membuat kita tak kerasan. Sudah banyak ilmu pengetahuan baru yang bisa kita dapatkan hari ini. Kita pun pamit jam 10 malam, dengan meninggalkan beberapa puntung rokok, juga gelas dan cangkir yang telah kosong. 

Kemantren, 24 Mei 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPAKBOLA; IMUNISASI KEHIDUPAN

Sepakbola bagiku bukan hanya sekedar permainan menendang dan memasukkan bola ke gawang lawan dengan sebanyak-banyaknya. Bukan! Sepakbola lebih dari itu.  Sepakbola bagiku adalah soal gairah hidup yang darinya meliputi berbagai perasaan. Senang, sedih, bahagia, kecewa, dan emosi menyatu bersamaan dengan bergulirnya si kulit bundar. Sepakbola menjadi teman untuk menghidupi hidup atas kegagalan, pelepas beban, dan pelengkap perjalanan hidup yang hebat.  Atmosfirnya yang aku rindukan dan untuk menjadi nyawa pada adanya gairah.  Berangkat ke stadion dengan rindu yang kesekian kalinya. Lalu, senang dan tawa riah dalam duduk memutari air persahabatan. Lalu ketika peluit ditiup, adukan perasaan mulai dipertaruhkan hingga 2x45 kedepannya. Meramalkan doa-doa dan nyanyian. Memberi semangat ketika kebanggaan mulai menyerang. Menteror lawan ketika memegang bola. Hingga umpatan serapah "bajingan" ketika ada keputusan kontroversial dari si pengadil. Ah, teramat sulit untuk dijel

SADTEMBER

SADTEMBER Bagi kalangan orang yang berkesadaran dan menolak lupa, bulan September adalah bulan mengenang berbagai peristiwa. Bulan yang menempati urutan ke-9 dalam penanggalan Masehi ini, sering di kaitkan dengan kata 'Hitam' dibelakangnya. Ya, tentu saja. Kata itu untuk mempertajam dan menggarisbawahi berbagai peristiwa. Banyak tanggal bertinta hitam untuk menolak lupa pada kekerasan negara.  Paragraf di awal tulisan ini merupakan tulisan seorang mahasiswa. Ya, dengan berbagai dialektika yang ada, semester 5 telah mengenalkanku pada kontradiksi. Tak seperti tulisanku yang ada di gambar itu—yang ku tulis dan ku upload di FB waktu masih berseragam abu-abu. Konyol, tentunya. Ruang dan lini masa yang berbeda membuatku berbeda juga, walaupun masih dalam konteks yang sama; bulan September. Walaupun berbeda, aku belum tau tolak ukurnya, apakah hari ini lebih baik atau malah sebaliknya.  Melihat jejak sosial media di FB, terkadang membuat ku larut dalam kenangan sejarah. D

INDONESIA PAGI HARI

INDONESIA PAGI HARI Dalam pagi yang selalu berganti, Anak anak mengawali hari berseragam rapi. Berteman burung-burung yang bernyanyi riang. Mentari adalah alarm disetiap pagi Indonesia  yang baru bangun. Sosok Indonesia terlihat pada senyum ceria  anak-anak berangkat ke sekolah. Menenteng tas membawa restu orang tua. Sosok Indonesia terlihat pada guru berpakaian batik  dalam siap untuk pengajaran. Angin pagi berhembus menyapa pohon Menggugurkan daun-daun kering berserakan. Pertengkaran, perselisihan,  politik rakus, dalam isu-isu yang semerbak. "Seorang bapak rela mencuri satu buah handphone  untuk biaya anaknya sekolah, Pelajar kembali terlibat tawuran, Seorang murid menantang duel guru,  kasus pelecehan kembali muncul, sekolah terpaksa tutup, mahasiswa kembali demo,  merdeka belajar, seorang rektor terjerat kasus korupsi,  pendidikan mahal, jual beli skripsi,  ayam kampus, NKRI harga naik dan bla bla bla"  Bum. Ki Hajar Dewantara muak  dengan berita-berita pendi